Call us now:
Masih ingat nama Yul Dirga? Mantan Kepala Kantor Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Jakarta Tiga yang divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dan divonis dengan pidana penjara selama 6,5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan?
Perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu kini telah memasuki tahap banding, baik yang diajukan oleh penuntut umum pada KPK maupun oleh Yul Dirga selaku terdakwa. Keduanya punya alasan masing-masing untuk mengajukan keberatan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama tersebut.
Yang cukup menarik yaitu alasan banding yang diajukan oleh Yul Dirga. Penasihat hukum Yul, Dorel Amir, mengatakan ada hal yang cukup fatal diutarakan hakim dalam amar putusan yaitu berkaitan dengan uang pengganti. Majelis menuliskan lambang uang pengganti untuk dollar singapura dengan lambang SG $, padahal seharusnya adalah SGD.
“Menjatuhkan pidana tambahan terhadap Terdakwa Yul Dirga untuk membayar uang pengganti sejumlah US $ 18.425 (delapan belas ribu empat ratus dua puluh lima dolar US), ditambah sejumlah SG $ 14.400 (empat belas ribu empat ratus dolar SIG),” tulis majelis dalam amar putusannya. Lambang yang sama juga dituliskan penuntut umum KPK dalam memori bandingnya.
Hal itu menurut Dorel bukan hanya salah ketik belaka tetapi akan berpengaruh terhadap eksekusi putusan. “Bagaimana nanti eksekusinya?” ujar Dorel saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.
Dalam memori bandingnya, Dorel juga mengatakan penggunaan mata uang dollar singapura pun seandainya ditulis dengan benar tidak memiliki dasar dalam penjatuhan pidana tambahan terhadap kliennya. Sebab yang tercantum dalam beberapa pertimbangan adalah US$ 14.400,00 (empat belas ribu empat ratus dolar Amerika Serikat) seperti yang tertulis pada halaman 288 paragraf ke-4.
“Bahwa benar Saksi Hadi Sutrisno bersama Saksi Muhammad Naim Fahmi bertempat di belakang Komplek DPR RI menghitung jumlah uang tersebut dan membaginya menjadi 4 (empat), yaitu untuk Terdakwa US $ 14.400,00 (empat belas ribu empat ratus dolar AS) dan untuk Tim Pemeriksa Pajak masing-masing memperoleh US $ 13.700,00 (tiga belas ribu tujuh ratus dolar AS,” kata Dorel mengutip pertimbangan majelis.
“Bahwa benar kemudian Saksi Hadi Sutrisno dan Saksi Muhammad Naim Fahmi menyerahkan kepada Terdakwa US $ 14.400,00 (empat belas ribu empat ratus dolar) dan uang yang menjadi bagian dari Saksi Jumari sejumlah US $ 13.700,00 (tiga belas ribu tujuh ratus dolar) diserahkan oleh Saksi Muhammad Naim Fahmi,” lanjut Dorel mengutip pertimbangan tersebut.
“Bahwa dengan demikian telah terjadi kesalahan penulisan atau pengetikan putusan pemidanaan yang seharusnya tertulis “US $ 14.400,00 (empat belas ribu empat ratus dolar)” bukan “SG $ 14.400 (empat belas ribu empat ratus dolar SIG),” terangnya.
Dalam Pasal 197 huruf d KUHAP menyatakan pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai mengenai fakta dan keadaan beserta alat- pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Kemudian dalam huruf h pasal yang sama menyatakan pernyataan kesalahan yang telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
Dorel mengatakan, berdasarkan penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP di atas, maka karenanya, kesalahan dalam penulisan “SG $ 14.400 tersebut di atas termasuk kesalahan penulisan yang menyebabkan batalnya putusan demi hukum sebagaimana yang dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf h dan bertentangan dengan penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Keberatan sidang online
Dorel menyatakan, permasalahan pengertian hakim terkait dengan salah ketik dan apakah uang yang disebutkan diterima Yul Dirga dalam bentuk dollar Amerika atau dollar Singapura salah satunya diakibatkan karena persidangan yang dilakukan secara online. Diketahui sejumlah persidangan pidana termasuk korupsi dilaksanakan secara daring karena adanya Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Persidangan dalam perkara a quo diselenggarakan secara yang dilakukan secara online atau menggunakan media telekonferensi dengan alasan adanya wabah pandemi Covid-19, namun dalam pelaksanaannya persidangan menghadapi kendala atas ketidaklancaran berkomunikasi dikarenakan jaringan telekomunikasi yang terputus-putus.
Menghadapi situasi tersebut penasihat hukum telah mengajukan permohonan kepada majelis hakim pemeriksa perkara agar persidangan dilakukan secara tatap muka di ruang persidangan untuk agenda persidangan tertentu, terutama pemeriksaan saksi-saksi kunci, ahli dan Terdakwa. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh majelis hakim perkara a quo.
“Penyelenggaraan sidang dengan cara di atas (online, red), jelas melanggar Pasal 183 KUHAP yang memiliki konsekuensi sulitnya mencari kebenaran materiil yang berkaitan erat dengan terwujudnya “keyakinan hakim” dalam menilai salah atau tidaknya Pemohon Banding /Terdakwa,” kata Dorel dalam memori bandingnya.
Dissenting Hakim
Dorel juga menyatakan pendapat hukum Hakim Anggota IV Joko Subagyo yang berbeda dengan hakim lain dan menyatakan kliennya tidak bersalah adalah pendapat yang benar. Karena pertimbangan hukumnya berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dengan mempertimbangkan semua alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh Penasihat Hukum yang dihubungkan satu sama lain sehingga disimpulkan kliennya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana termuat dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum.
Hakim Joko Subagyo beranggapan keterangan pemberian uang sebesar AS$18.425 dan AS$14.400 (di amar tertulis SG $ 14.400) juga hanya diketahui oleh satu saksi yaitu Hadi Sutrisno. Sementara saksi lain yang hadir di persidangan tidak pernah mengetahui adanya uang pemberian tersebut.
Sementara kesaksian tim Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang menyatakan adanya pemberian itu, juga keterangannya diperoleh tidak secara langsung melainkan hanya dari keterangan Hadi Sutrisno. Oleh karena itu tidak adanya kesesuaian keterangan saksi satu dengan saksi yang lain dianggap bukan merupakan fakta hukum sehingga tidak berkesuaian satu dengan yang lain.
“Sehingga unsur penerimaan hadiah atau janji pada dakwaan pertama tidak terbukti pada diri Terdakwa. Menimbang dengan demikian tidak diperolehnya fakta hukum bahwa Terdakwa telah menerima uang sehingga unsur menerima hadian atau janji pada Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor tidak terbukti dalam perkara ini,” ujar Hakim Joko.
Hukumonline telah meminta tanggapan penuntut umum KPK mengenai salah ketik majelis yang menjadi alasan banding Yul Dirga, Takdir Suhan salah satu penuntut umum yang menangani perkara ini hanya membahas mengenai banding yang dilakukan pihaknya. “Secara umum yang kami banding terkait dakwaan gratifikasi yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama,” kata Takdir.
Saat kembali ditanya mengenai adanya perbedaan pertimbangan majelis dan amar mengenai mata uang yang diberikan kepada Yul Dirga, Takdir mengaku belum melihat lagi pertimbangan tersebut. “Saya belum cek lagi,” pungkasnya.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.